Kerja Sama Polri-AFP Bongkar Jaringan TPPO yang Eksploitasi 50 WNI di Australia

Kerja Sama Polri-AFP Bongkar Jaringan TPPO yang Eksploitasi 50 WNI di Australia

Polri bekerja sama dengan Australian Federal Police (AFP) berhasil mengungkap kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) -Foto: Anisha Aprilia.-

JAKARTA, HARIANOKUS.COM — Kepolisian Republik Indonesia (Polri), bekerja sama dengan Australian Federal Police (AFP), berhasil mengungkap kasus besar terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pemberangkatan warga negara Indonesia (WNI) untuk bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Australia.

Kasus ini melibatkan sekitar 50 WNI yang terpaksa bekerja di sektor tersebut di negara kangguru tersebut.

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro, mengungkapkan bahwa 50 WNI tersebut dikirim ke Australia dengan tujuan akhir menjadi pekerja seks komersial.

"Jumlah WNI yang direkrut dan diberangkatkan untuk menjadi pekerja seks komersial di Australia kurang lebih mencapai 50 orang," kata Djuhandani dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, pada Selasa, 23 Juli 2024.

BACA JUGA:Briptu Aditya Yoga Raih Juara 2 di Lomba Cipta Lagu Nasional

BACA JUGA:Wabup Hadiri Malam Ramah Tamah Puncak HUT Korem

Djuhandani menjelaskan bahwa korban-korban tersebut, yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa, pada umumnya sudah mengetahui bahwa mereka akan bekerja sebagai PSK.

"Dari 50 korban, sebagian besar sudah mengetahui bahwa mereka akan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial. Namun, kami masih mendalami lebih lanjut mengenai proses rekrutmen mereka, bagaimana mereka diantarkan ke Australia, serta bagaimana visa dan prosedur lain diurus," jelas Djuhandani.

Dalam pengungkapan kasus ini, Polri menetapkan dua orang sebagai tersangka. Tersangka pertama, FLA (36), berperan sebagai perekrut dan telah ditangkap oleh Bareskrim di Kalideres, Jakarta Barat.

Tersangka kedua, berinisial SS alias Batman, ditangkap oleh kepolisian Australia dan diduga berperan sebagai pihak yang menampung para korban di Australia.

FLA dijerat dengan Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp 600 juta.

Sementara itu, penyidikan masih terus berlanjut untuk mengungkap lebih lanjut mengenai jaringan dan proses yang terlibat dalam kasus ini.

Pihak berwenang mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap modus-modus TPPO dan melaporkan segala bentuk dugaan pelanggaran kepada aparat penegak hukum. (*)

 

Sumber: