Ruwah di Jawa: Tradisi Penuh Makna untuk Menghormati Leluhur dan Menyucikan Diri
Ruwah, Bulan Penuh Doa dan Silaturahmi Jelang Ramadan-Fhoto:Ist-
Harianokus.com - Ruwah adalah salah satu bulan dalam penanggalan Jawa yang memiliki makna mendalam, terutama bagi masyarakat yang menjalankan tradisi adat Jawa. Terletak pada urutan kedelapan dalam kalender Jawa, bulan Ruwah datang sebelum bulan Pasa (Ramadhan) dan memiliki arti yang tidak hanya terkait dengan perhitungan waktu, tetapi juga berkaitan erat dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat Jawa.
Kata “ruwah” sering kali dikaitkan dengan bahasa Arab “arwah” yang berarti arwah atau roh. Namun, dalam budaya Jawa, istilah ini memiliki nuansa yang lebih dalam dan unik untuk dikaji. Dalam bahasa Jawa, terdapat istilah “kerata basa”, yang merujuk pada kata-kata yang disatukan untuk membentuk makna baru. Salah satu bentuk kerata basa yang berhubungan dengan bulan Ruwah adalah “aruh-aruh arwah”, yang bisa diartikan sebagai “menyapa arwah”. Walaupun terdengar menyeramkan, sebenarnya makna dari ungkapan ini jauh lebih penuh makna, berisi pesan tradisi yang sarat dengan nilai positif dan penghormatan terhadap leluhur.
Salah satu tradisi yang kental dengan bulan Ruwah adalah "ruwahan", yang juga dikenal dengan sebutan Nyadran, terutama di kalangan masyarakat Jawa yang beragama Islam. Tradisi ini merupakan gabungan antara kepercayaan adat dengan ajaran Islam. Meskipun sudah berlangsung lama, tradisi ruwahan tetap dilestarikan, terutama di pedesaan, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan untuk mendoakan mereka yang telah meninggal.
Ruwahan dimulai dengan kegiatan membersihkan makam leluhur secara bersama-sama. Ini bukan hanya sekedar membersihkan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan pengingat akan jasa para leluhur yang telah mendahului. Setelah membersihkan makam, warga kemudian melaksanakan doa bersama, menaburkan bunga ke makam sebagai tanda penghormatan dan doa untuk arwah yang telah tiada.
Setelah prosesi tersebut, acara dilanjutkan dengan kenduri atau selamatan yang dilaksanakan di sekitar makam atau di rumah sesepuh kampung. Warga kampung berkumpul, membawa hidangan yang telah disiapkan bersama, dan meletakkannya di tengah-tengah sebagai tanda kebersamaan. Nasi tumpeng, gudangan, ingkung ayam, serta hidangan lainnya disiapkan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Dalam kenduri ini, sesepuh desa memimpin tahlil dan doa bersama. Setelah itu, acara diakhiri dengan makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan.
Meskipun terlihat mirip dengan ziarah kubur, tradisi ruwahan memiliki makna filosofi yang lebih kompleks. Tradisi ini dilakukan secara kolektif, melibatkan seluruh warga kampung, dan bahkan seringkali warga yang merantau juga pulang untuk turut serta. Ini menjadi momen penting bagi masyarakat Jawa untuk saling berbagi cerita tentang leluhur mereka, mengenang jasa-jasa mereka, dan meneruskan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan.
Bagi masyarakat Jawa, ruwahan bukan sekadar ritual, tetapi juga sebagai bentuk balas budi kepada arwah leluhur yang telah memberikan warisan budaya dan kehidupan kepada generasi berikutnya. Selain itu, tradisi ini menjadi bagian dari proses penyucian diri sebelum memasuki bulan Pasa (Ramadhan), di mana umat Islam menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran dan kebersihan hati.
Bulan Ruwah dan tradisi ruwahan juga menjadi momen yang penting untuk orang tua menjelaskan kepada anak cucunya mengenai siapa leluhur mereka, agar generasi muda selalu ingat dan menghargai asal-usul mereka. Dengan cara ini, tradisi ruwahan terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang, sebagai bentuk penghormatan yang mendalam kepada mereka yang telah mendahului. Tradisi ini bukan hanya tentang mengenang, tetapi juga tentang menjaga ikatan kekeluargaan dan kebersamaan di tengah komunitas.
Sumber: